https://www.ptaskes.com/
Mahkamah Konstitusi

PTASKES Hubungan Masyarakat MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) sekali lagi mengadakan sesi ujian yang relevan dari paragraf 7 (1) Carta B (Hukum P3) dalam Konstitusi Republik Indonesia tahun 1945 (Konstitusi 1945) Senin (24/7/2023) di Kamar Milisi MK MK. Permintaan yang direkam dengan nomor kasus 66/PUU-XXI/2023 disajikan oleh Partai Bintang Crescent yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Presiden Jenderal dan Afriandsyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal.

Dalam persidangan, Yusril Ihza Mahendra yang hadir langsung mengatakan, perbaikan dilakukan atas saran Majelis Hakim. Namun selain itu, ia juga berusaha menyempurnakan dan memperluas dalil-dalil dalam petisi ini agar petitum tersebut menjadi lebih jelas. “Kami juga telah memperjelas dan memperkuat posisi hukum atas kerugian konstitusional yang dialami penggugat sehingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan permohonan revisi undang-undang ini,” kata Yusril kepada majelis yang diketuai hakim konstitusi Wahiduddin Adams.

Lebih lanjut, Yusril menjelaskan, Partai Bintang Baru, menurut anggaran dasar dan peraturan partainya, bertindak secara legal untuk Partai Bintang Baru. “Maka, dalam penjabaran dalil atau alasan pertanyaan, kami dengan enteng menyinggung aspek formal control dari penjelasan pasal yang dimintakan kontrolnya yang didasarkan pada ketentuan Pasal 51 A UU MK.

Jika Mahkamah Konstitusi akan melakukan uji formal terhadap undang-undang, maka yang akan dijadikan batu uji adalah undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang sekarang kami minta untuk diuji adalah Pasal 7(1)(b) UU Pembentukan Perundang-undangan itu sendiri, yang kita cek dengan ketentuan norma dan ketentuan UU Pembentukan Perundang-undangan, apalagi jika ada pertentangan antara isi atau norma Pasal 7(1)(b) dan penjelasannya,” ujarnya.

Menurut Yusril, penjelasan tersebut sebenarnya hanyalah penjelasan frasa atau istilah, namun penjelasan hukum tentang pembentukan undang-undang tidak boleh memuat aturan apapun. Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa dengan diubahnya pasal-pasal yang mengatur tentang keberadaan MPR dalam UUD 1945 dan dihapuskannya Klarifikasi sebagai bagian integral dari konstitusi, telah terjadi perubahan mendasar terhadap MPR sebagai satu-satunya lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” sekaligus sebagai perwujudan dari “seluruh rakyat Indonesia”.

Pemohon mendalilkan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, Ketetapan MPR setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat negara sedang mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah mengeluarkan ketetapan yang melarang berkembangnya ideologi Marxisme dan Leninisme pasca pemberontakan G 30S PKI tahun 1965, setelah PKI dibubarkan oleh Supersemar Jenderal Suharto pada 3 Maret 1966.

Ketiga, MPR telah mengambil keputusan tentang pertanggungjawaban presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan presiden dari jabatannya. Keputusan ini menjadikan pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid sah dan konstitusional. Keempat, MPR mengeluarkan ketetapan MPR n. VII/MPR/1973 berkaitan dengan ketidakhadiran presiden dan/atau wakil presiden.

Ketetapan ini dijadikan dasar pengunduran diri Presiden Soeharto dan pelantikan Presiden BJ Habibie di hadapan Ketua Mahkamah Agung, ketika MPR tidak dapat bersidang karena krisis mata uang tahun 1998. Keputusan ini membuat pengunduran diri Presiden Soeharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya sah dan konstitusional.